Loader

[article] Indonesia's Dance Culture: The Society's Scapegoat?

Started by jana, 21/05/07, 09:51

Previous topic - Next topic
I am on a tight provision -time wise- so if there is one thing I'd like to highlight on, it's the causal link between the dance culture and drug culture in Indonesia.

To reflect on my personal account, I sadly witnessed the blatant and over-the-top use of recreational drugs among clubbers in Indonesia when I came back to Jakarta in 1997 and then again in 1999. Having observed a LOT closely few years later down the road, here's my take of the situation :

-  The drug scene in Indonesia evolved far earlier than the local dance/club scene, hence the attitude "Let's use drugs and go clubbing" or "Let's use drugs in clubs", rather than maybe the more discerning "Let's go clubbing and dancing to good music and if there's good drugs to enhance the experience so much the better". While in most developed countries, the use and spread of man-made psychedelics went hand in hand with the growth of dance/club scenes, as witnessed by the rise of disco clubs in the US in the early 70s.

- Trust me, it is a LOT easier to obtain drugs in many big cities in Indonesia than in most big cities in western world, despite what it seems otherwise. Because of murky legal entanglements, corruption and lax policing, many could just go to most clubs in Jakarta and buy drugs on site -no sweat-, or alternatively call up friends who surely know anyone who sell. The accessibility to drugs is different even in, let's say, the most pragmatic country on earth, the Netherlands. Sure, the quality maybe better in those countries, as regulations and transparencies improve competition, but few cities in the world could beat Jakarta when it comes to cozy access to drugs, most notably ecstasy and crystal meth. These easy access could only encourage patrons of clubs and club kids to use them while clubbing. If you can get such heady experience with such ease, then why not  (In most cases, I wouldn't myself).



Ini terjemahannya... gw bikin semampu gw..

@jana:sory kalo ada yang miss... koreksi aja,bo..


Beberapa bulan lalu,saya mengikuti diskusi di sebuah forum yang dibuat untuk menjadi sarana komunikasi clubber Indonesia, dan ada satu isu yang terus dibahas: mengedukasi crowd.Yang terjadi adalah,beberapa dj dan clubber sedikit terganggu dengan bagaimana crowd di klub bersikap.Crowd saat ini tampak menjadikan klub dan dance scene sebagai pembenaran pelecehan seksual,penggunaan narkoba,atau tempat transaksi ilegal dalam berbagai bentuk.Tidak ada yang baru dalam hal ini.Tetap isu ini layak untuk diperhatikan secara serius sebagai salah satu budaya urban.

Budaya klubing dan rave di Indonesia dimulai dengan gerakan underground,mengambil tempat di klub-klub kecil di Jakarta sekitar tahun 1996,diikuti dengan beberapa rave party.Pada 2002 raver Indonesia memulai era baru dalam rave outdoor dan pantai,dengan label seperti Cream,Gatecrasher,Godskitchen,dan Heineken Thirst.Festival musik lokal juga mengadakan acara rave seperti Jakarta Movement,Lost Chapter,Aquasonic,dll.Kemudian jumlah club,event organizer,manajemen DJ, dan pecinta EDM meningkat secara signifikan sekitar tahun 2000 hingga detik ini.Jenis musik-baik yang dimainkan oleh DJ atau dimainkan secara live meliputi trance,electro,progressive,tribal,drum n bass,new wave, dan sub-genre lainnya dengan 'rave-ambiance' sejenis -- tentu saja dengan batasan BPM.

Beberapa tahun terakhir,banyak dj internasional,produser,dan musisi telah tampil di event-event besar di Indonesia,seperti Tiesto,AvB,Prodigy,Sasha,Marco V,Jazzy Jeff,BT,Randy Katana,Sander van Doorn,John Digweed,Solarstone,Junkie XL,King UNique,Chris Lawrence,Gareth Emery,Andy Moor, dan nama-nama lain yang bisa ditambahkan ke dalam daftar di atas.Sebagai tambahan,ketika dj internasional tampil,raver Indonesia dikenal sebagai salah satu crowd paling antusias di dunia.

Untuk menambah keceriaan,raver Indonesia mengadaptasi idealisme "Peace,Love,Unity and Respect" dan  mereka mempromosikan ide "Support Your Local DJ" menjadi terminologinya."Support Your Local DJ" memberikan dasar untuk dj-dj Indonesia dan musisi elektronik untuk mengembangkan diri mereka dalam kualitas,teknologi,skill,dan mental untuk berekspansi dan mengaktualisasikan diri baik secara nasional maupun global.

Ada beberapa klub yang secara internasional sudah dikenal di Indonesia seperti Embassy/Wonderbar(jkt),Stadium(jkt),dan Double Six(bali) yang pernah direview oleh Mixmag sebagai salah satu klub terbaik di dunia.Jenis tempat bervariasi mulai dari pantai,klub,bukit,pelataran parkir,bahkan hanggar pesawat.Dan cuplikan terbaik dari rave scene Indonesia adalah Tiesto:In the Search of Sunrise IV (pantai carnival-ancol,jkt),yang sukses mengumpulkan lebih dari 20 ribu raver dari seluruh penjuru negeri dan pengakuan Tiesto secara pribadi untuk raver Indonesia yang sangat bersemangat dan antusias.

Baiklah.Sampai saat ini,anda mungkin menganggap budaya ini hanyalah tren belaka atau sebuah produk lain dari budaya pop yang dilebih-lebihkan.Jikalau ada sesuatu yang unik tentang rave dan dance culture di Indonesia,itu adalah fakta bahwa imagenya telah menciptakan persepsi multidimensi dalam masyarakat dan fakta bahwa budaya ini tidak mempunyai kekuatan untuk mengontrol imagenya sendiri.

Dan lagi,trend tidak bertahan hampir 10 tahun lamanya.

Ini adalah ringkasan bagaimana masyarakat merespon ketika ditanya apa yang mereka lihat tentang clubbing,dance,dan rave culture di Indonesia - khususnya di jkt:

Pertama,budaya ini dilihat sebagai ciptaan masyarakat,sebuah peng'iya'an bahwa masyarakat mempunyai  kemapanan secara finansial untuk kebutuhan sekunder dan subordinat.Dengan tingginya statistik bahwa konsumen berada di level "non-tax paying", sebagian besar pemasar komersil dan perencana retail menggunakan ini sebagai potensi pasar yang besar;pengiklan juga menggunakan ilustrasi yang diasosiasikan dengan kuat ke budaya ini.Harap diingat ketika dikatakan konsumen berada di level "non-tax paying",itu adalah istilah ekonomi belaka untuk: mereka adalah remaja,sebagian besar dari mereka.

Pandangan kedua menganggap bahwa budaya adalah alat peer-pressure dimana suatu susunan nilai yang baru diletakkan atas mereka,bukan pada apa yang benar atau salah,tetapi lebih kemampuan mereka mengikuti perkembangan jaman.Dalam kalimat saya sendiri,ini adalah saat dimana mereka berkembang dan menjalani kehidupan yang sesuangguhnya;pilihan mereka sendiri,apakah mereka mau mengkonsumsi ekstasi,minum alkohol sampai "tepar",atau menemukan cinta instan,atau hanya mendengarkan musik,atau mungkin menghabiskan uang mereka secara "gila".Pilihan itu ada di tangan mereka sendiri,dan apapun yang mereka pilih,apapun konsekuensi yang mereka ambil,itu akan membentuk karakter mereka.Saya sendiri setuju dengan anggapan ini karena hidup dipelajari terbaik dengan menjalankannya,dan juga dengan membuat kesalahan.

Yang terakhir adalah persepsi yang akan saya angkat dalam isu ini,budaya ini juga menjadi "kambing hitam" dalam masyarakat. Dance culture adalah sasaran yang mudah untuk dberikan image negatif.Pengikutnya seringkali dianggap sebagai segerombolan anak muda yang hedonis dan penganut sekulerisme dan yang perempuan hanyalah "lollipop barbie".Sinetron menggunakan mereka sebagai target untuk dinegatifkan,menggambarkan kultur ini dimana orang-orang jahat berkumpul dan dimana kejadian buruk terjadi.Pendeknya,glamor itu salah;kesenangan adalah dosa.Banyak pengamat perilaku konsumen berteori bahwa ini adalah perlawanan masyarakat terhadap 'the invisible hand':pemegang pasar.

Kesimpulannya,ada sebuah kontradiksi:di satu sisi,mereka dieksploitasi oleh industri sebagai orang yang 'cool',sukses,gambaran konsumen masa kini;di sisi lain,dicap oleh masyarakat sebagai hedonis,penganut seks bebas,dan orang yang suka menghambur-hambur kan uang.

Sungguh ironis dengan  anggapan di atas,pengakuan dance culture di Indonesia sebagai indikasi kuat dari apresiasi musikal,terasa hambar;profesional yang bergerak di bidang ini juga seringkali diabaikan.

Tidak banyak orang-bahkan clubber sendiri-menyadari sistem yang ada dalam pekerjaan semacam ini;sama seperti sistem yang ada dalam dunia industri,kultur ini juga memiliki berbagai variasi pekerjaan,etika dan politiknya.Dalam sudut pandang intelektual,kultur ini diharapkan mempunyai kesadaran tinggi terhadap teknologi:untuk memahami teknologi barat untuk setiap kebutuhan(proses mixing,visualisasi,teknik pencahayaan,dll),dan kebutuhan lain sesuai standart internasional;dan juga,kemampuan untuk mendatangkan keuntungan secara finansial dari segala aspek.
Ada juga pihak yang berhasil menciptakan kerjasama global,seperti membawa kompetisi internasional ke tingkat lokal,membuat rekaman dengan label internasional (cth:Romy,Altuna,Innerlight),belum lagi banyaknya dj Indonesia yang tampil di negara lain,seperti singapura,malaysia,afrika selatan,dan china.

Walau kultur ini berslogan 'Support Your Local DJ' bahkan pada level global,usaha dari dance crowd Indonesia untuk mempromosikan sisi positif kultur ini seringkali diabaikan,dan bahkan lebih buruk lagi,diremehkan.Ironisnya,hal ini juga datang dari clubber sendiri.

Poinnya adalah,kultur ini mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap kuantitas,dan pelakunya sadar dengan fakta bahwa berbicara tentang idealisme bermusik tidak akan membuat orang memesan dua gelas long island atau sebotol chivas.Mereka tahu konsekuensi mereka di bisnis ini:mereka harus menghitung angka sedemikian rupa.Mengetahui bahwa kuantitas akan mendatangkan keuntungan lebih dan lebih,mereka terkurung dengan image negatif.Jadi apa yang dapat mereka lakukan?

Stigma antagonistik ini,tentu saja,terjadi karena sebuah alasan dan pengikut kultur ini cukup realistis tentang situasi ini.Mereka bahkan mengakuinya ke depan publik;Ya,kami memiliki isu seks bebas dan penggunaan narkoba,dan pada poin lain,ini menjadi sesuatu yang biasa dan diterima sebagai justifikasi sosial,bahkan kebutuhan sosial.Bagaimanapun,pengikut kultur ini tidak dilibatkan atau tidak memusingkan isu seperti di atas,satu-satunya yang mereka ikut dipusingkan adalah adanya razia oleh aparat.

Ini adalah sebuah gambaran yang lebih besar,saya bertanya ke seorang dj ternama apakah mungkin jika dj lokal bergabung dan mempromosikan dance culture yang lebih positif dan lebih 'bersih'.Dia berkata,mengatakan bahwa dia sendiri ingin melakukan hal itu,tapi masalahnya adalah dia dan dj lain tidak ingin terdengar munafik untuk sesuatu yang bukan menjadi masalah mereka,dan untuk mengambil resiko itu,mereka juga tidak ingin kehilangan crowd mereka.

Selanjutnya,saya menganalisa respon lain dan akhirnya menyimpulkan:perhatian dj-dj ini adalah musik mereka (dan penikmatnya),dan bukan moral di masyarakat.Sayangnya,apa yang dianggap moral dalam masyarakat telah memposisikan mereka dengan penilaian satu sisi yang negatif.

Cukup masuk akal.Jika saya adalah pelaku bidang ini,sayapun akan merespon sama.

Tidak dapat dihindari,komunitas kultur ini bertumbuh dengan apatis dan acuh tentang keberadaan mereka di komunitas yang lebih besar,dalam hal ini masyarakat;mekanisme defensif yang berulang-ulang mulai terdengar seperti kaset rusak.Untuk alasan ini,mereka tumbuh secara lemah dalam menangani keberadaan mereka sendiri ke publik.

Jika ada suatu usaha yang harus dilakukan,bukanlah dengan mengacuhkan reaksi negatif terhadap situasi ini,seperti prejudis yang berlebihan pada clubber-clubber muda.Suka atau tidak,mereka menghadapi sindikat kejahatan secara langsung yang mereka tidak dapat kontrol atau hilangkan-dan untuk menghilangkan faktornya adalah perubahan total pada aspek psikologis,sistem ekonomi dan pendidikan.Suatu hal yang sangat sulit.

Jadi hal penting:pemecahan terbaik adalah dengan memperlihatkan pada publik bahwa mereka adalah pekerja keras,kreatif,dan profesional muda yang konsisten di balik scene ini:dimana orang-orang ini dapat menginformasikan  dan menginspirasikan kepada crowd mereka bahwa hidup adalah tentang mengambil kesempatan,berusaha secara nyata,bekerja keras,dan membuat pilihan yang tepat.

Fakta ini tidak dapat diabaikan begtitu saja.
Biarlah masyarakat memutuskan,tetapi biarkan kultur meng'educate'.











aduh......harus ke LIA lagi nih belajar
It's Not Gonna Change

Quote from: RyoKha on 26/05/07, 03:36
aduh......harus ke LIA lagi nih belajar

;D ;D ;D ;D ;D

@jana

jd tnyata selama ini ngilang taunya jd pengamat dance scene yah, Cha??
nice writing though, walo gw hrs copy ke word dulu biar gak pusing

:P

@mike

lo jd translator nya yah??huahaha
pada jago" bgt bhs inggrisnyaaa...AJARIN DONK!!!!!!!!

hahahaha...

*jd nyampah gini

*piss*
underground movements...

@dhanty: jana mah udah lama jadi pengamat,dhan.. ekekekekek

bagus nih wacanananya,,,setelah di translate gw jadi lebih ngerti lagi,hehe.. ;D


Illusion Visual Player


sumpah..
gue masih ngga ngerti..
ternyata kapasitas otak gue emang ecek-ecek..  :-\  :-\
whatever people say i am, that's what i'm not

Quote from: kc on 27/05/07, 00:55
sumpah..
gue masih ngga ngerti..
ternyata kapasitas otak gue emang ecek-ecek..  :-\  :-\


lu nonton gosip2 artis2 homo sama silet doang di tipi sih kes... ;D

nont metro TV dong
biar pengetahuan nya luas kayak si mike !
:P
welcome to my weekend

aduh pusing g baca sebanyak itu.... kesimpulannya aja deh....
All people smile in the same language...

Quote from: dweetha on 27/05/07, 01:37
aduh pusing g baca sebanyak itu.... kesimpulannya aja deh....
ini wit

Jadi hal penting:pemecahan terbaik adalah dengan memperlihatkan pada publik bahwa mereka adalah pekerja keras,kreatif,dan profesional muda yang konsisten di balik scene ini:dimana orang-orang ini dapat menginformasikan  dan menginspirasikan kepada crowd mereka bahwa hidup adalah tentang mengambil kesempatan,berusaha secara nyata,bekerja keras,dan membuat pilihan yang tepat.

Fakta ini tidak dapat diabaikan begtitu saja.
Biarlah masyarakat memutuskan,tetapi biarkan kultur meng'educate'.
"Don't play it safe standing for nothing. Better to die fighting for something"
-Sepet-

-VJ illusion-
myspace.com/vjillusion
ricco.sepet@gmail.com

hahahaha... responnya njleger juga...
*true then, klo udh nyerempet dance culture.. pasti gimanaaa gituu ;D

@ dhanty

bukan pengamat dance scene in particular lo...
itu juga sudut pandang artikelnya bukan dari posisi penulis sebagai clubber... hehe

@ mikey

thanks, mannnn.... pas mo reply, eh udh ditranslate aja... thanks thanks thanks!! :)

@ ian

well said.... dijadiin masukan pastinya..
but the primary focus in this article isn't about the distribution of drugs in the scene..
tapi lebih ke gimana representasi scene itu sendiri di masyarakat,
kalopun mo diliat dari point of view itu,
okay the scene have 'problems'... tapi klo scene itu sendiri dikambinghitamkan, org" yg emg berniat ngeminimize the abuse of drugs n xes or alcohol or whatever, juga ga bakal ktemu akar masalahnya dimana... triggernya dimana.. yg diurusin cuman apa yg kliatan dari luar aja dan yg gampang dipermasalahkan..
ketika scene itu bisa lebih represent: hey man, we're working professionals here.. we're just doing our best... dan presentation-on-public nya bisa jadi lebih baik..
masyarakat jadi lbh mudah ngebedain: which one's the problem [and its triggers], which one's not..

@ all

why do i publish the article here?
skrg kan most rvlx members ngeliat dance scene dr "ravelexian" point of view.. *alahh*.. jadi kliatan oke aja terus..
tapi kalo keluar dari lingkaran, ngeliat dari sudut pandang masyarakat sekitar.. hekk.. ngga semua org 'nganggep' dance scene indonesia, malah cenderung jadiin 'scapegoat' ato kambing hitam...

gitu..

nambahin aja sih, sori.. kadang artikel kyk gini klo ngeliat sekelebat doanq.. it's like saying... PEOPLE WHO USE DRUGS RUINED THE PLACE dan ppl yg ngerasa take recreational drugs juga berhak ngerasa defensif. well, it's their problem.. not the writer's..
tapi kita ga bisa nutup kemungkinan klo triggernya bukan musik, bukan profesionalnya, ..itu cuman pembenaran aja..
sementara masyarakat yg jauuuuh lbh luas [the ever critical public] lebih don't give a damn lagi..
unless.. the professionals and the music lovers themselves can speak more of their potentials.

proses ya...
kita ngga bisa expect dgn satu esai, everything can be a happy ending story for the scene..
what's happy ending anyways? ;D

ps:
the writer refused to take sides in this matter. especially when it comes to anyone's "personal lifestyle".. :) everyone has their own responsibility in the scene..
:P

Quote from: kc on 27/05/07, 00:55
sumpah..
gue masih ngga ngerti..
ternyata kapasitas otak gue emang ecek-ecek..  :-\  :-\

yahhh.. jgn kesannya artikel ini jatahnya org CERDAS doanq donq kc.. org luar aja bilang org indonesia tu cerdas" loh, blog org kita aja ditakutin ma menteri negeri jiran
*skalian promosi.. ntar lg di thelunchbox ada artikelnya soal itu..hakakakak..*
masalah niat aja kli ya..
lagian ga dipaksa utk baca...ga bakal dpt untung apa" juga klo baca...
but i'm sure u're smarter than how u present urself.

thanks, anyway.. :)
:P

brief correction, mikey. klo diterjemahin langsung bahasanya emg jadi keblibet... hiehehe..

QuoteTidak dapat dihindari,komunitas kultur ini bertumbuh dengan apatis dan acuh tentang keberadaan mereka di komunitas yang lebih besar,dalam hal ini masyarakat;mekanisme defensif yang berulang-ulang mulai terdengar seperti kaset rusak.Untuk alasan ini,mereka tumbuh secara lemah dalam menangani keberadaan mereka sendiri ke publik.

Jika ada suatu usaha yang harus dilakukan,bukanlah dengan mengacuhkan reaksi negatif terhadap situasi ini,seperti prejudis yang berlebihan pada clubber-clubber muda.Suka atau tidak,mereka menghadapi sindikat kejahatan secara langsung yang mereka tidak dapat kontrol atau hilangkan-dan untuk menghilangkan faktornya adalah perubahan total pada aspek psikologis,sistem ekonomi dan pendidikan.Suatu hal yang sangat sulit.

Mau tidak mau, komunitas kultur ini menjadi apatis dan acuh mengenai keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat; mekanisme defensif yang berulang-ulang mulai terdengar seperti kaset rusak. Oleh karena itu, mereka lemah dalam menangani tampilan mereka sendiri di mata masyarakat luas.

Kalaupun ada upaya, bukanlah dengan memicu reaksi negatif mengenai situasi tersebut, seperti menganggap buruk clubbers muda ini dengan berlebihan. Suka atau tidak, mereka menghadapi sindikat kejahatan secara langsung, yang mana mereka tidak dapat kontrol atau hilangkan -- dan untuk menghilangkan faktornya berarti harus melakukan perubahan total pada sistem psikologis, ekonomi dan pendidikan negara ini. Suatu hal yang sangat sulit.

:P


@Jana: Nice essay! boleh gw jadiin bahan skripsi ga? hehhe Thanksss